MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
1. Terhadap Orang Asing dan Property Milik Asing
Negara memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan perlindungan pada warga negaranya yang ada di luar negeri
Keberadaan Hak dan Kewajiban ini dalam praktik sering menimbulkan konflik kepentingan antarnegara.
Di satu sisi negara asal WNA (Home State) tentu ingin memberikan perlindungan semaksimal mungkin pada warga negaranya yang berada di luar negeri, disisi lain negara dimana WNA berada (Host State) ingin melaksanakan yurisdiksi teritorialnya, melindungi kepentingan warga juga
negaranya yang kemungkinan dirugikan oleh tindakan WNA yang ada di negaranya, tanpa campur tangan pihak ading mana pun.
Dalam praktik, perlakuan buruk negara-negara (ill treatment) terhadap WNA dapat menimbulkan tanggung jawab negara. Perlakuan buruk yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Pengingkaran Keadilan (denial justice);
2. Pengambilalihan harta benda pihak asing secara tidak sah;
3. Kegagalan untuk menghukum seseorang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap serangan yang ditujukan pada pihak asing;
4. Kerugian langsung yang disebabkan tindakan organ negara.
Menyangkut standar yang tepat untuk memperlakukan orang asing di suatu negara sering kali diperdebatkan antara standar minimum internasional dengan standar nasional.
Standar minimum internasional diinginkan oleh kelompok negara maju. Negara maju ini menginginkan warganya diperlakukan sesuai standar minimum internasional terlepas dari bagaimana suatu negara memperlakukan warganya sendiri.
Manakala standar minimum tidak terpenuhi maka akan muncul tanggung jawab internasional.
Arti Standar disini tidak hanya standar hukumnya, tetapi juga standar dalam arti penegakan hukumnya yaitu perlindungan efektif menurut Hukum Internasional.
Adapun standar nasional adalah apa yang dikemukakan negara-negara berkembang dan terkebelakang yang menginginkan persamaan perlakuan antara warga negaranya sendiri dengan warga asing menurut standar nasional.
Warga asing menurut kelompok ini tidak berhak menuntut lebih dari nasional yang diberikan pada warga sendiri. Karena kehadiran secara sukarela warga asing di sebuah negara menimbulkan konsekuensi kesediaan tunduk dan menerima hukum setempat.
Negara Teritorial bertanggung jawab hanya apabila ada diskriminasi dengan warga setempat.
Prinsip standar minimum internasional dalam pandangan negara berkembang hanya digunakan sebagai sarana untuk mengintervensi kebijakan negara berkembang.
Dua pendekatan tersebut bermuara di satu titik temu yaitu dalam konsep pengaduan internasional terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang esensial.
Dua prinsip perlakuan terhadap orang atau warga asing.
Pertama, orang asing harus menikmati hak-hak serta jaminan yang sama dengan warga negara yang bersangkutan, maksudnya harus tidak kurang daripada HAM fundamental manusia yang diakui dan ditetapkan dalam Hukum Internasional.
Kedua, Tanggung jawab internasional akan timbul apabila HAM/fundamental tersebut dilanggar.
Menyangkut Nasionalisasi atau expropriation yang sering dilakukan oleh pemerintah suatu negara terhadap kepemilikan asing yang menimbulkan kerugian bagi merekamenurut hukum kebiasaan asing adalah ilegal, kecuali bila dilakukan dengan memberikan ganti rugi dengan prompt, adaquate effective.
Nasionalisasi adalah sah merupakan tindakan dari negara berdaulat asalkan memenuhi standar ada ganti rugi menurut hukum kebiasaan internasional dan dilakukan untuk kepentingan publik dan tidak ada diskriminasi.
2. Terhadap Utang Publik (Public Debt)
Ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana kreditor menghadapi debitur yang tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya.
Teori yang pertama diberikan oleh Lord Palmerston pada awal perkembangan internasional yang menyatakan bahwa, kegagalan negara membayar hutang memberikan hak pada pihak kreditor untuk mengambil langkah yang dirasakan perlu untuk memaksa pihak debitur melaksanakan kewajibannya. Langkah yang dimaksud adalah jalur diplomatik maupun kekerasan seperti military action.
Namun demikian seiring dengan perkembangan Hukum Internasional yang melarang digunakannya kekerasan maka dalam teori kedua yang dikemukakan Drago, Menteri Luar Negeri Argentina, tahun 1902, masalah penyelesaian hutang negara hanya dapat dilakukan melalui diplomatik maupun jalur hukum.
Perkembangan berikutnya atau teori ketiga, yang diikuti saat ini, tidak ada ketentuan atau metode khusus bagaimana suatu negara debitur membayar hutang-hutangnya. Kewajiban negara debitur berkaitan dengan hutangnya sama dengan kewajiban yang muncul dari perjanjian internasional lainnya.
3. Terhadap Aktivitas Ruang Angkasa
Aktivitas ruang angkasa dianggap sebagai aktivitas yang berisiko tinggi sehingga negara selalu dianggap bertanggung jawab absolut atau mutlak terhadap segala kerugian yang muncul dari aktivitas tersebut di permukaan bumi amupun di ruang udara.
Tanggung jawab absolut ini berarti pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan letak kesalahan pihak tergugat penyebab terjadinya kerugian
Prinsip tanggung mutlak ini diterapkan dengan pemikiran akasn sangat sulit bagi penggugat membuktikan dimana letak kesalahan pembuat kerugian , mengingat aktivitas ruang angkasa adalah aktivitas dengan teknologi tinggi yang sangat sulit dipahami oleh orang awam.
Tanggung jawab absolut ini juga berarti bahwa negara dianggap tahu dan seharusnya tahu terhadap segala aktifitas ruang angkasa yang terjadi di wilayahnya, siapapun pelakunya, negara sendiri atau pihak swasta.
Namun demikian, bila kerugian muncul di ruang angkasa mak prinsip tanggung jawab yang ada adalah based on fault principle atau tanggung jawab berdasarkan kesalahan.
Dengan demikian pihak penggugat harus membuktikan letak kesalahan tergugat untuk membuktikan letak kesalahan tergugat.
PENGECUALIAN/PEMBEBASAN DIRI DARI TUNTUTAN PERTANGGUNGJAWABAN
Ada beberapa alasan yang bisa digunakan negara untuk membela diri dari tuntutan pertanggung jawaban pihak asing :
1. Penerapan Sanksi Atas Dasar HI
Meskipun penggunaan kekerasan terhadap negara lain, namun negara dapat melepaskan diri dari tuntutan pertanggungjawaban manakala penggunaan kekerasan yang dilakukannya dalam rangka sanksi atas pelanggaran hukum internasional yang dilakukan pihak asing
BAB VII Piagam PBB meupakan dasar hukum yang kuat yang mengizinkan digunakannya kekerasan secara kolektif atas nama PBB terhadap suatu negara untuk menghentikan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan negara tersebut.
2. Keadaan Memaksa (Force Majeur)
Negara juga dapat menggunakan pengecualian ini dari pertanggungjawaban pihak asing manakala terjadi sesuatu hal atau kejadian yang merugikan pihak asing diluar prediksi negara dan memang tidak bisa diprediksi sebelumnya, tidak ada kesengajaan, dan negara tidak kuasa mencegah atau menghindarinya
Sebagai contoh : Negara A membuat kontrak dengan negara B untuk menyelesaikan proyek bangunan dengan jangka waktu tertentu. Sayang sekali menjelang penyerahan proyek, terjadi bencana alam sehingga rusaklah proyek tersebut. Negara A berdasar Force Majeur dibenarkan meminta penangguhan penyerahan tanpa ada tuntutan pertanggungjawaban keterlambatan.
3. State Necessity
Argumen ketiga dalah State Necessity, kepentingan negara yang darurat dan sangat penting dilaksanakan untuk meminimalisasi kerugian yang akan terjadi.
Doktrin State Necessity agak sulit dibedakan dengan Force Majeur. Namun demikian, pada umumnya negara tidak memiliki pilihan lain, apa yang dilakukan negara merupakan satu-satunya jalan yang dapat dilakukan negara untuk menyelamatkan kepentingan esensiil terhadap bahaya yang sangat besar.
Download versi Powerpoint :
unduh di sini
No comments:
Post a Comment